Petunjuk Mudah...... !
Klik BERANDA (pada Daftar Halaman).
Anda akan masuk ke Daftar Isi semua posting Blog.
Selamat menikmati.
--------------------------------------------------------------
Prolog
------------------------------
Bismillahirrahmanirrahiim
Selamat Datang di Blog Kami, semoga Informasi yang anda cari tersedia dan silahkan dibaca, dicopy atau dibagi kepada siapapun yang membutuhkan.
Etika berkunjung, silahkan anda tinggalkan NAMA atau EMAIL sebagai niat baik & ijin.
insya Allah, ILMU yang ada disini akan membawa berkah & manfaat untuk kita semua. Amin.
Bagi yang berkenan silahkan kasih komentar dengan Sopan & Santun sebagai perwujudan ukhuwah islamiyah.
Bagi yang yang tidak berkenan, kami mohon maaf.
( Harap cantumkan nama Gus Is - 1hati17an.blogspot.com )
-----------------------------
Rabu, 10 Juli 2013
Bismillahirahmanirahim..
Apakah hakikat ilmu yang bermanfaat itu? Secara syariat,
suatu ilmu disebut bermamfaat apabila mengandung mashlahat – memiliki
nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, mamfaat
tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin
merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan
ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum
tentu meningkat pula di hadapan-Nya.
Oleh karena itu, dalam kacamata ma’rifat, gambaran ilmu
yang bermamfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli
hikmah. “Ilmu yang berguna,” ungkapnya, “ialah yang meluas di dalam dada sinar
cahayanya dan membuka penutup hati.” seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah
tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata, “Yang bernama ilmu itu bukanlah
kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang
diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk
mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri.”
Ilmu itu hakikatnya adalah
kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah
ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya.
sesuai dengan firman-Nya, “Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta
untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum
habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (pula).” (QS. Al Kahfi [18] : 109).
Adapun ilmu yang dititipkan kepada
manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas.
Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan
ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah [58] : 11).
Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun !
Akan tetapi, walaupun hanya
“setetes” ilmu Allah yang dititipkan kepada mnusia, namun sangat banyak
ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada
Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari.
sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya
kita akan mendapatkan mamfaat darinya.
Hal lain yang
hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat
memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat
membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh
kepada gurunya. “Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali
memahaminya dan bahkan cepat lupa?” Sang guru menjawab, “Ilmu itu ibarat
cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih.” Artinya, ilmu
itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.
Karenanya,
jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis
ta’lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa
demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air
kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat
apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah
kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang
ilmu tidak akan pernah menerangi hati.
Padahal kalau
hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening.
Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita
menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika
menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati
yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan
untuk menzhalimi sesama. Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh
Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermamfaat. darimana pun ilmu itu
datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala
sesuatu yang akan membawa mudharat.
Sebaik-baik
ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib
menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga
ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermamfaat.
Bila mendapat
air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit)
untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu
yang bisa menjadi “tawas”-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain
yang kita kaji bisa diserap seraya membawa mamfaat.
Mengapa
demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya
dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang didapatkan hanya
akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu fikih, hanya akan
membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain,
sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami
ilmu ma’rifat. Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan heran kalau hanya
membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain
sesat.
Oleh karena
itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati
dalam rangka ma’rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di
dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat
dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir,
mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat
kecilnya kita ini di hadapan-Nya.
Kita lahir ke
dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa
apa-apa.
Mengapa harus ujub, riya, takabur, dan sum’ah. Merasa diri besar,
sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh.
Itu semua hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki? Padahal,
bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua, yang
sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?
Subhanallaah!
Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi
penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub
kepada-Nya.
( Gus Is - http://1hati17an.blogspot.com )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar