Petunjuk Mudah...... !
Klik BERANDA (pada Daftar Halaman).
Anda akan masuk ke Daftar Isi semua posting Blog.
Selamat menikmati.
--------------------------------------------------------------
Prolog
------------------------------
Bismillahirrahmanirrahiim
Selamat Datang di Blog Kami, semoga Informasi yang anda cari tersedia dan silahkan dibaca, dicopy atau dibagi kepada siapapun yang membutuhkan.
Etika berkunjung, silahkan anda tinggalkan NAMA atau EMAIL sebagai niat baik & ijin.
insya Allah, ILMU yang ada disini akan membawa berkah & manfaat untuk kita semua. Amin.
Bagi yang berkenan silahkan kasih komentar dengan Sopan & Santun sebagai perwujudan ukhuwah islamiyah.
Bagi yang yang tidak berkenan, kami mohon maaf.
( Harap cantumkan nama Gus Is - 1hati17an.blogspot.com )
-----------------------------
Rabu, 10 Juli 2013
Pembelajaran Selama ini Hanya Untuk Otak. Tidak Untuk Jiwa.
Apa
yang salah pada anak-anak itu ?
Mereka
lahir sebagai Muslim, dibesarkan dengan pendidikan Islam, melewati masa
kecilnya dengan hafalan ayat-ayat suci Al-Qur'an serta do'a-do'a shalat, dan
mengisi masa belianya dengan mengaji di masjid-masjid, madrasah maupun
pesantren. Mereka hafal beberapa hadist
Nabi maupun bait-bait Barzanji. Tetapi
ketika menginjak masa remaja, tak ada kebanggaan didadanya untuk berkata,
"Isyhadu bi anna muslimun! Saksikanlah bahwa aku seorang Muslim."
Apa
yang salah pada ana-anak itu ?
Mereka
telah belajar tentang halan dan haram.
Mereka juga belajar tentang makruh dan sunnah. Bahkan puasa-puasa sunnah mereka lakukan demi
memperoleh ranking pertama di sekolah, atau untuk memperoleh beasiswa yang tak
seberapa jumlahnya, atau bahkan sekedar untuk bisa mengerjakan ujian esok
hari. Demi hal-hal yang sepele dan
remeh-temeh mereka hadapi dengan puasa sunnah, qiyamul-lail dan dzikir-dzikir
panjang. Tetapi ketika mereka mulai menginjak
dewasa, apa pun dilakukan untuk memperoleh seperiuk nasi, termasuk dengan
menjual agama. Atas nama kemerdekaan
berpikir, mereka menadahkan tangan kepada lembaga-lembaga donor dengan proposal
untuk mengubah ruh agama.
Apa
yang salah pada anak-anak itu ?
Ketika
kecil mereka dibesarkan dengan tangis orangtua agar kelak menjadi orang yang
berguna. Ketika mulai beranjak besar,
airmata itu masih belum berhenti mengalir karena banyaknya biaya sekolah yang
harus dipikir orangtua. Tetapi ketika
mereka telah benar-benar besar, orang tua terkadang masih harus menangis karena
anak-anak itu telah melupakan agamanya atau bahkan menodainya. Ada yang bahagia melihat betapa
"hebat" anaknya, tetapi diam-diam menabung beratnya pertanggungjawaban
di akhirat. Nau'dzubillahimin dzalik.
Teringatlah
saya dengan firman Allah, "Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anaku
hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah pahalayang besar."
[Al-Anfaal:28]
Sebagai
cobaan, anak-anak bisa membawa kita lebih dekat kepada Allah ta'ala. Amal kita
dan anak-anak kita saling disusulkan, sehingga bisa bersama-sama di syurga,
kelak setelah kiamat tiba. Tetapi kalau
kita salah menata mereka, anak-anak itu bisa menjadi musuh orangtua; di dunia,
di akhirat ataubahkan dunia dan sekaligus akhirat . Dan diantara penyebab kehancuran ituadalah
niat kita yang salah tatkala mendidik mereka, atau pendidikan yangkeliru saat
mereka kita besarkan, atau kedua-duanya; niat dan perlakuan samaburuknya.
Kadang
ada orangtua yang kurang bisa mendidik anaknya, tetapi karena iatnya
yang
jernih dan pengharapannya yang kuat, Allah memberi pertolongan.Anak-anak itu
menjadi perhiasan orangtuanya, di dunia dan akhirat.Anak-anak itu membawa
kebaikan yang besar, penuh dengan barakah, pada hariia dilahirkan, dimatikan
dan dibangkitakan kembali.
Tetapi....
Anak-anak
itu bisa menjadi musuh orang tuanya.
Kehadirannya menjadi sebab
lahirnya
keburukan, kerusakan dan kehancuran.
Mereka penyebab orang-Orangberpaling dari agamanya. Mereka membuat orang-orang yang beriman
mengalamikeraguan, dan orang-orang yang masih lemah keyakinannya semakin jauh
dariTuhannya. Mereka menjadi sebab
kerusakan bukan karena tidak berpengetahuan.Bahkan boleh jadi mereka sangat
luas pengetahuannya. Tetapi tidak ada
imandan muraqabah di hati mereka, kecuali sangat tipis. Wallahu A'lam bishawab.
Teringat
saya pada firman Allah Yang Maha Suci, "Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu,
maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah cobaan/fitnah (bagimu).
Di sisi Allahlah pahala yang besar." [At-Taghaabun: 14-15]
Ada
perintah di sini. Perintah untuk
berhati-hati terhadap mereka. Selebihnya, ada pelajaran yang patut kita
renungkan dari peristiwa-peristiwa yang telah berlalu atau pun yang masih
terpampang di hadapan kita.
Sesungguhnya
tidak ada kebetulan di dunia. Ada
hokum-hukum sejarah yang mengikatnya.
Kitalah yang harus menemukan prinsip-prinsip itu.
Apa
yang salah pada anak-anak itu?
Ada
satu hal. Mereka mendapat pembelajaran
'ibadah, sehingga banyak surat-surat pendek yang dihafal saat usianya belum
melewati lima tahun. Tetapi pembelajran itu hanya untuk
otaknya. Tidak untuk jiwa. Padahal pangkal perubahan adalah
pada jiwa. Bukan otak yang cerdas. Orang yang Tahu, tidak dengan sedirinya
bertindak sesuai dengan pengetahuannya. Seorang dokter spesialis penyakit dalam
bisa meninggal karena terlalu banyak merokok.
Sebabnya, bahaya rokok hanya tersimpan di otak. Tidak menggerakan jiwa. Karena begitu kecilnya pengaruh pengetahuan
di otak bagi perubahan sikap dan perilaku, maka perusahaan (rokok: EHz) tidak
pernah khawatirmencantumkan peringatan pemerintah tentang bahaya merokok
disetiapkemasannya.
Sebaliknya,
kalau hati sudah tersentuh dan jiwa sudah tergerakan, pengetahuan tentang
resiko tak akan membuat kaki berhenti melangkah. Merekayang pergi berjihad bukan tidak tahu
kalau jiwa bisa melayang. Tetapiketika
keyakinan sudah kokoh, tak ada lagi yang perlu ditakutkan dengankematian.
Ya,
letaknya pada jiwa. Tetapi alangkah
sering kita lupa pada jiwa. Letaknya pada iman.
Tetapi alangkah sering kita mengabaikan.
Letaknya pada 'aqidah yang menghidupkan hati. Tetapi alangkah sering kita hanya mengurusi otaknya. Padahal otak saja tidak cukup. Diam-diam saya
teringat dengan sebuah hadis riwayat Imam Ahmad. Ada contoh yang rasanya amat perlu kita
renungkan hari ini, ketika anak-anak kita yang dulu sibuk menghafal matan
Alfiyah, sekarang telah merusak agama atas nama ijtihad dan tajdid. Atau bahkan telah secara nyata menentang
agama. Sekurang-kurangnya meragukan kesucian agama.
Ada
contoh yang patut kita renungkan. Ketika
Ibnu Abbas masih amat kecil, Rasulullah saw. mengajarkan beberapa kalimat yang
membekas dalam jiwa. Kata Rasulullah,
"Jagalah (hak) Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Peliharalah (hak) Allah, niscaya kamu akan
mendapatkan-Nya di hadapanmu. Kenalilah
Dia di saat kau bahagia, niscaya Dia akan mengenalimu di saat kau susah."
"Apabila
kau meminta, mintalah kepada Allah.
Sesungguhnya pena telah mongering, mencatat apa yang ada. Seandainya seluruh makhluk bermaksud menolongmu
dengan sesuatu yang tidak ditetapkan leh Allah untukmu, niscaya mereka tidak
akan sanggup melakukannya. Dan jika
(manusia) bermaksudmen celakakanmu dengan sesuatu yang tidak ditetapkan Allah
bahwa sesuatu ituakan mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan sanggup
melakukannya." [HR.Ahmad]
Adnan
Hasan Shalih Baharits menerangkan, nasihat Rasulullah saw. Ini membangkitkan
muraqabah pada diri anak semenjak dini.
Anak memiliki kesadaran bahwa setiap langkahnya senantiasa mendapatkan
pengawasan Allah.
Ini
merangsang anak untuk memiliki kendali perilaku yang berasal dari dalam dirinya
(internal locus of control). Ia
sekaligus membangkitkan komitmendan tanggung-jawab, sehingga pikiran dan
tindakan anak lebih terarah. Pada gilirannya,
ini akan memperkuat dan mensucikan maksud dan tujuan sosialnya
sehingga
ia akan mudah berkorban.
Saya
teringat dengan John W Santrock. Pakar
psikologi perkembangan yang terkenal dengan bukunya berjudul Adolescence (2001)
ini menunjukan bahwa kebingungan identitas hanyalah mitos. Ada remaja-remaja yang tidak perlu sibuk
mencari jati-diri. Mereka telah
mengenali dirinya, tujuan hidupnya dan makna hidupnya karena sedari kecil telah
memiliki keyakinan, komitmen hidup serta persepsi tentang tanggungjawab
(perceived responsibility) yang kuat.
Inilah yang membuat hidp mereka lebih terarah, sehingga tidak mudah
terpengaruh oleh sebayanya.
Sepanjang
sejarah, agama ini telah melahirkan manusia-manusia besar yang di usia amat
belia telah menghasilkan catatan sejarah yang mengesankan. Imam Syafi'i telah didengar kata-katanya
sebagai fatwa yang otoritatif ketika usia baru 16 tahun. Imam Ahmad bin Hanbal telah sibuk mempelajari
ilmu hadis tatkala umurnya baru menginjak 15 tahun. Dan Usamah bin Zaid – seorang sahabat Nabi
saw. - telah mendapat kepercayaan
sebagai panglima perang, juga ketika usianya baru berkisar 16 tahun.
Barangkali
ada benarnya kesimpulan Jean Jaques Rousseau.
Kata Rousseau. "L'homme qui medite est un animal deprave'."
Manusia yang hanya berpikir saja adalah binatang yang bercacat.
Menurut
Rousseau, semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam
akalnya dan mengesampingkan panggilan hati nuraninya. Artinya,
hebatnya pengetahuan agama tanpa iman yang kokoh, justru bisa menjadi sebab
rusaknya agama. Bal'am bin Baurah
contohnya.
Semoga
ada yang bisa kita renungkan.
Semoga
Allah menolong kita (amin yaRABBAL 'alamiiin : EHz)
Lupa Pada Jiwa Oleh: Mohammad Fauzil Adhim -Sumber: Hidayatullah
Publikasi oleh : http://1hati17an.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar