Petunjuk Mudah...... !
Klik BERANDA (pada Daftar Halaman).
Anda akan masuk ke Daftar Isi semua posting Blog.
Selamat menikmati.
--------------------------------------------------------------
Prolog
------------------------------
Bismillahirrahmanirrahiim
Selamat Datang di Blog Kami, semoga Informasi yang anda cari tersedia dan silahkan dibaca, dicopy atau dibagi kepada siapapun yang membutuhkan.
Etika berkunjung, silahkan anda tinggalkan NAMA atau EMAIL sebagai niat baik & ijin.
insya Allah, ILMU yang ada disini akan membawa berkah & manfaat untuk kita semua. Amin.
Bagi yang berkenan silahkan kasih komentar dengan Sopan & Santun sebagai perwujudan ukhuwah islamiyah.
Bagi yang yang tidak berkenan, kami mohon maaf.
( Harap cantumkan nama Gus Is - 1hati17an.blogspot.com )
-----------------------------
Rabu, 10 Juli 2013
Rizki adalah salah satu faktor yang paling banyak menjadi
polemik, sebelum maupun setelah pernikahan. Faktor ridzki ini tak
henti-hentinya menjadi pokok bahasan dalam, menjelang dan disaat kita
mengarungi pernikahan. Waktu lamaran atau khitbah misalnya, kerap kali seorang
pria ditanyai calon mertua dengan pertanyaan : sudah kerja atau belum ? kerja
di mana ?, semata-mata karena kerja ada kaitannya dengan ridzki, dalam
pengertian : ridzki material untuk menghidupi keluarga (suami, istri dan anak).
Mengenai jumlah material yang bakal didapat seseorang
ketika dia telah menikahpun masih banyak perbedaan pendapat. Ada yang berkata : ridzki material seseorang
yang menikah akan berkurang, mengingat jatah dirinya harus dibagi tiga- untuk
diri, pasangan dan untuk anak-anaknya. Ada
yang berkata : ridzki material seseorang yang menikah akan bertambah, mengingat
ridzki dari diri, pasangan dan anak semuanya berkumpul dalam wadah yang bernama
keluarga. Pendapat kedua yang lebih optimistik ini berpangkal dari asumsi,
masing-masing orang sudah dikaruniai ridzki dari Allah, sehingga ridzki itu
berkumpul dalam suatu wadah, yaitu keluarga. Tambah optimis mereka yang
memegang prinsip kedua ini, ketika pasangan suami-istri dikaruniai kelahiran
seorang anak. Sudah ada ridzki suami, ridzki istri, ditambah lagi ridzkinya
seorang anak. “Banyak anak banyak ridzki,” bisa berlaku pula teratas mereka
yang percaya dengan prinsip yang disebut ke-2 ini.
Bila diminta memihak, maka penulis
tentu akan berpihak pada pendapat ke-2, kendati secara logika pendapat pertama
tidak sama sekali salah. Pendapat pertama bisa menjadi suatu kebenaran, dengan
syarat : pencari nafkah tidak optimal dalam ikhtiar, sedang penerima nafkah
tidak mampu mengalokasikan pendapatan secara hemat dan benar. Atau
jangan-jangan, pihak yang bertanggungjawab mencari nafkah belum atau tidak
mampu mencari nafkah, bagi pemenuhan kebutuhan dan stabilitas ekonomi
keluarganya.
Optimisme yang mengemuka dalam
pendapat pertama bisa juga menjadi buyar, ketika optimisme tidak didukung oleh
maksimalisasi potensi ikhtiar, serta azas penghematan dalam pengelolaan
anggaran keluarga. Pameo “banyak anak banyak ridzki” bisa tidak berlaku lagi,
berganti dengan pameo : “banyak anak banyak beban.” Hemat penulis, fenomena
inilah yang banyak terjadi di negara ini. Dengan faktor penyebab yang
ditengarai : pernikahan dini, entah karena “married by accident” atau dalih
ingin lekas menunaikan perintah agama, tanpa mengukur kemampuan dalam pemenuhan
kebutuhan ekonomi pasca pernikahan. Itulah sebabnya, untuk mencegah hal
tersebut, Ibrahim Amini, seorang cendekiawan Islam meletakkan pekerjaan tetap
atau stabil sebagai syarat bagi laki-laki, yang berniat menyunting seorang
wanita.
KH Miftah Faridl, salah seorang ulama
terkemuka Jawa Barat juga mendukung pendapat kedua, yang menganggap bahwa
pernikahan adalah pembuka pintu ridzki. Membaca uraian beliau dalam buku 150
Masalah Nikah & Keluarga bisa diinsyafi bahwa, kalau seseorang menikah maka
dia akan memperoleh ridzki untuk dirinya dan untuk teman hidupnya. Dengan
menikah diharapkan, ridzki bertambah dengan salah satu sebab, penyaluran
pembiayaan hidup yang lebih baik, dan pengelolaan pembiayaan hidup diatas azas
penghematan. Pendapat beliau menjawab pertanyaan penulis tentang : mengapa
seorang kawan yang masih membujang dan bekerja di perusahaan mentereng, sering
mengeluh kekurangan uang. Partner yang handal dalam mengelola ridzki tak pelak
menjadi pertimbangan penting, yang harus dipikirkan seseorang ketika ia memilih
pasangan hidup. Kurang-cukupnya ridzki dalam sebuah keluarga akhirnya tidak
ditentukan oleh jumlah material, melainkan ditentukan oleh kehandalan dan
kemampuan manajerial pasangan pernikahan dalam mengatur cash flow rumahtangga.
*Kolumnis artikel Islam. Tulisannya
dimuat di Republika, Islam Online, Mutmainna dan majalah Hareetz (Qatar)
( Ridzki Setelah Nikah Oleh : Ilyasa Bustomi Juni 21, 2007 · Disimpan dalam artikel )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar