Petunjuk Mudah...... !
Klik BERANDA (pada Daftar Halaman).
Anda akan masuk ke Daftar Isi semua posting Blog.
Selamat menikmati.
--------------------------------------------------------------
Prolog
------------------------------
Bismillahirrahmanirrahiim
Selamat Datang di Blog Kami, semoga Informasi yang anda cari tersedia dan silahkan dibaca, dicopy atau dibagi kepada siapapun yang membutuhkan.
Etika berkunjung, silahkan anda tinggalkan NAMA atau EMAIL sebagai niat baik & ijin.
insya Allah, ILMU yang ada disini akan membawa berkah & manfaat untuk kita semua. Amin.
Bagi yang berkenan silahkan kasih komentar dengan Sopan & Santun sebagai perwujudan ukhuwah islamiyah.
Bagi yang yang tidak berkenan, kami mohon maaf.
( Harap cantumkan nama Gus Is - 1hati17an.blogspot.com )
-----------------------------
Senin, 08 Juli 2013
Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar
Suatu saat,
adzan Maghrib tiba. Kami bersegera shalat di sebuah mesjid yang dikenal dengan
tempat mangkalnya aktivis Islam yang mempunyai kesungguhan dalam beribadah. Di
sana tampak beberapa pemuda yang berpakaian "khas Islam" sedang
menantikan waktu shalat. Kemudian, adzan berkumandang dan qamat pun segera
diperdengarkan sesudah shalat sunat. Hal yang menarik adalah begitu
sungguh-sungguhnya keinginan imam muda untuk merapikan shaf. Tanda hitam di
dahinya, bekas tanda sujud, membuat kami segan. Namun, tatkala upaya merapikan
shaf dikatakan dengan kata-kata yang agak ketus tanpa senyuman,
"Shaf,
shaf, rapikan shafnya!", suasana shalat tiba-tiba menjadi tegang karena
suara lantang dan keras itu. Karuan saja, pada waktu shalat menjadi sulit
khusyu, betapa pun bacan sang imam begitu bagus karena terbayang teguran yang
keras tadi.
Seusai
shalat, beberapa jemaah shalat tadi tidak kuasa menahan lisan untuk saling
bertukar ketegangan yang akhirnya disimpulkan, mereka enggan untuk shalat di
tempat itu lagi. Pada saat yang lain, sewaktu kami berjalan-jalan di Perth,
sebuah negara bagian di Australia, tibalah kami di sebuah taman.
Sungguh
mengherankan, karena hampir setiap hari berjumpa dengan penduduk asli, mereka
tersenyum dengan sangat ramah dan menyapa "Good Morning!" atau sapa
dengan tradisinya. Yang semuanya itu dilakukan dengan wajah cerah dan
kesopanan. Kami berupaya menjawab sebisanya untuk menutupi kekagetan dan
kekaguman. Ini negara yang sering kita sebut negara kaum kafir.
Dua keadaan
ini disampaikan tidak untuk meremehkan siapapun tetapi untuk mengevaluasi kita,
ternyata luasnya ilmu, kekuatan ibadah, tingginya kedudukan, tidak ada artinya
jikalau kita kehilangan perilaku standar yang dicontohkan Rasulullah SAW,
sehingga mudah sekali merontokan kewibawaan dakwah itu sendiri.
Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dengan berinteraksi dengan sesama
ini, bagaimana kalau kita menyebutnya dengan 5 (lima) S :
Senyum,
Salam, Sapa, Sopan, dan Santun.
Kita harus
meneliti relung hati kita jikalau kita tersenyum dengan wajah jernih kita
rasanya ikut terimbas bahagia. Kata-kata yang disampaikan dengan senyuman yang
tulus, rasanya lebih enak didengar daripada dengan wajah bengis dan ketus.
Senyuman menambah manisnya wajah walaupun berkulit sangat gelap dan tua
keriput. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita termasuk orang yang senang
tersenyum untuk orang lain? Mengapa kita berat untuk tersenyum, bahkan dengan
orang yang terdekat sekalipun. Padahal Rasulullah yang mulia tidaklah berjumpa
dengan orang lain kecuali dalam keadaan wajah yang jernih dan senyum yang
tulus. Mengapa kita begitu enggan tersenyum? Kepada orang tua, guru, dan
orang-orang yang berada di sekitar kita?
S yang
kedua adalah salam. Ketika orang mengucapkan salam kepada kita dengan
keikhlasan, rasanya suasana menjadi cair, tiba-tiba kita merasa bersaudara.
Kita
dengan terburu-buru ingin menjawabnya, di situ ada nuansa tersendiri.
Pertanyaannya, mengapa kita begitu enggan untuk lebih dulu mengucapkan salam?
Padahal tidak ada resiko apapun. Kita tahu di zaman Rasulullah ada seorang
sahabat yang pergi ke pasar, khusus untuk menebarkan salam. Negara kita
mayoritas umat Islam, tetapi mengapa kita untuk mendahului mengucapkan salam
begitu enggan? Adakah yang salah dalam diri kita?
S ketiga
adalah sapa. Mari kita teliti diri kita kalau kita disapa dengan ramah oleh
orang lain rasanya suasana jadi akrab dan hangat. Tetapi kalau kita lihat di
mesjid, meski duduk seorang jamaah di sebelah kita, toh nyaris kita jarang
menyapanya, padahal sama-sama muslim, sama-sama shalat, satu shaf, bahkan
berdampingan. Mengapa kita enggan menyapa? Mengapa harus ketus dan keras?
Tidakkah kita bisa menyapa getaran kemuliaan yang hadir bersamaan dengan sapaan
kita?
S keempat,
sopan. Kita selalu terpana dengan orang yang sopan ketika duduk, ketika lewat
di depan orang tua. Kita pun menghormatinya. Pertanyaannya, apakah kita
termasuk orang yang sopan ketika duduk, berbicara, dan berinteraksi dengan
orang-orang yang lebih tua? Sering kita tidak mengukur tingkat kesopanan kita,
bahkan kita sering mengorbankannya hanya karena pegal kaki, dengan bersolonjor
misalnya. Lalu, kita relakan orang yang di depan kita teremehkan. Patut kiranya
kita bertanya pada diri kita, apakah kita orang yang memiliki etika kesopanan
atau tidak.
S kelima,
santun. Kita pun berdecak kagum melihat orang yang mendahulukan kepentingan
orang lain di angkutan umum, di jalanan, atau sedang dalam antrean, demi
kebaikan orang lain. Memang orang mengalah memberikan haknya untuk kepentingan
orang lain, untuk kebaikan. Ini adalah sebuah pesan tersendiri. Pertanyaannya
adalah, sampai sejauh mana kesantunan yang kita miliki? Sejauh mana hak kita
telah dinikmati oleh orang lain dan untuk itu kita turut berbahagia? Sejauh
mana kelapangdadaan diri kita, sifat pemaaf ataupun kesungguhan kita untuk
membalas kebaikan orang yang kurang baik?
Saudara-saudaraku,
Islam sudah banyak disampaikan oleh aneka teori dan dalil. Begitu agung dan
indah. Yang dibutuhkan sekarang adalah, mana pribadi-pribadi yang indah dan
agung itu? Yuk, kita jadikan diri kita sebagai bukti keindahan Islam, walau
secara sederhana. Amboi, alangkah indahnya wajah yang jernih, ceria, senyum
yang tulus dan ikhlas, membahagiakan siapapun. Betapa nyamannya suasana saat
salam hangat ditebar, saling mendo'akan, menyapa dengan ramah, lembut, dan
penuh perhatian.
Alangkah
agungnya pribadi kita, jika penampilan kita selalu sopan dengan siapapun dan
dalam kondisi bagaimana pun. Betapa nikmatnya dipandang, jika pribadi kita
santun, mau mendahulukan orang lain, rela mengalah dan memberikan haknya,
lapang dada,, pemaaf yang tulus, dan ingin membalas keburukan dengan kebaikan
serta kemuliaan.
Saudaraku,
Insya Allah. Andai diri kita sudah berjuang untuk berperilaku lima S ini,
semoga kita termasuk dalam golongan mujahidin dan mujahidah yang akan
mengobarkan kemuliaan Islam sebagaimana dicita-citakan Rasulullah SAW, Innama
buitsu liutammima makarimal akhlak, "Sesungguhnya aku diutus ke bumi ini
untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.
y;mso-layout-grid-align:none;
text-autospace:none'>2. Banyak
berdiskusi dan bertanya.
3. Banyak melihat (mengadakan studi banding).
4. Banyak merenung
(tafakur).
5. Banyak berbuat
dan mencoba.
6. Banyak
beribadah dan berdo'a.
Mudah-mudahan
kegighan diri kita, menjaga agar karir hidup ini menjadi orang bersih, terbuka,
jujur terpercaya yang dilakukan dengan tulus karena Allah semata. Selamat
berjuang saudaraku sekalian, cukuplah Allah sebagai satu-satunya tujuan,
pelindung, tumpuan harapan dan satu-satunya penolong kita semua.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar