Petunjuk Mudah...... !
Klik BERANDA (pada Daftar Halaman).
Anda akan masuk ke Daftar Isi semua posting Blog.
Selamat menikmati.
--------------------------------------------------------------
Prolog
------------------------------
Bismillahirrahmanirrahiim
Selamat Datang di Blog Kami, semoga Informasi yang anda cari tersedia dan silahkan dibaca, dicopy atau dibagi kepada siapapun yang membutuhkan.
Etika berkunjung, silahkan anda tinggalkan NAMA atau EMAIL sebagai niat baik & ijin.
insya Allah, ILMU yang ada disini akan membawa berkah & manfaat untuk kita semua. Amin.
Bagi yang berkenan silahkan kasih komentar dengan Sopan & Santun sebagai perwujudan ukhuwah islamiyah.
Bagi yang yang tidak berkenan, kami mohon maaf.
( Harap cantumkan nama Gus Is - 1hati17an.blogspot.com )
-----------------------------
Rabu, 10 Juli 2013
Cerita
Pendek: A Mustofa Bisri
Kompas
- 23/6/2002 - www.kompas.com
“Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua
dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya
yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu, "Saya sendiri tidak
paham apa maksudnya."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar
biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian
Subuh Kiai Saleh, "Matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening
orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat,
Sumini anaknya penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu.
Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar
bilang, Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?!' Tak
lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."
"Kang Kandar kan juga
begitu," timpal Mas Guru Slamet, "kalian kan mendengar sendiri ketika
Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung
sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?!' Lho, ternyata
besoknya Kang Kandar meninggal."
"Ya. Waktu itu saya pikir Gus
Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, nggak tahunya beliau sedang
membaca tanda pada diri Kang Kandar."
"Saya malah mengalami
sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut
bicara, "waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada
saya, 'Wah saku sampeyan kok mondol-mondol, dapat proyek besar ya?!' Padahal
saat itu saku saya justru sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya,
saya memenangkan tender yang diselenggarakan pemda tingkat propinsi."
"Apa yang begitu itu yang disebut
ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
"Mungkin saja," jawab Ustadz
Kamil, "makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut
dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."
MAKA ketika kemudian sikap Gus Jakfar
berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung
yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin, yang
selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang
berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi
manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda.
Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata dia
benar-benar kehilangan keistimewaannya.
"Jangan-jangan ilmu beliau hilang
pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh
penyesalan, "wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada
beliau?"
"Kemana beliau pergi saat
menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun “kalau saja kita tahu
kemana beliau, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan
mengapa beliau kemudian berubah."
"Tapi bagaimanapun, ini ada
hikmahnya," ujar Ustadz Kamil, "paling tidak kini, kita bisa setiap
saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti
pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui
apa yang terjadi dengan gus kita ini, hingga sikapnya
berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya
kita langsung saja menemui beliau."
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil,
pada malam Jumat sehabis wiridan salat Isya, dimana Gus Jakfar prei, tidak
mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir
semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang
sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa keseganan,
was-was, dan rasa takut.
Setelah ngobrol kesana-kemari akhirnya
Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan,
"Gus, di samping silaturahmi
seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus.
Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap
sampeyan"
"Perubahan apa?" tanya Gus
Jakfar sambil tersenyum penuh arti, "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada
saja. Saya kok merasa tidak berubah."
"Dulu sampeyan kan biasa dan suka
membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang
tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca bahkan diminta pun tak
mau."
"O, itu," kata Gus Jakfar
seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam
agak lama, baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan:
"Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar,
tapi kami diam saja.
"Kalian ingat, ketika saya lama
menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin dia
benar-benar siap untuk bercerita, maka serempak kami mengangguk. "Suatu
malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh
yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini
sekitar 200 km ke arah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi
itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih
100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah
disebut kiai di daerah masing-masing."
"Terus terang, sejak bermimpi
itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru
kepada wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa,
saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat
bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata ketika sampai disana, hampir semua
orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah
seharian melacak kesana-kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk. 'Cobalah
nakmas ikuti jalan setapak disana itu,' katanya, 'Nanti nakmas akan berjumpa
dengan sebuah sungai kecil, terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai
seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah kemungkinan
besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak
di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan.
Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai
siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya, kiai Tawakal. Saya yakin itulah orangnya,
Mbah Jogo.'
Saya pun mengikuti petunjuk orang tua
itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu. Dan
betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai
Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata
sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan
bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama
sekali tidak mencerminkan sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya
berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan
teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan
kata-kata hikmah."
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik
nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat
saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang, ada
tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang
cukup besar berbunyi 'Ahli neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini
saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang
saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi,
dan disegani banyak kiai yang lain, disurat sebagai ahli neraka. Tak mungkin.
Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak
bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat
tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila."
"Akhirnya niat saya untuk menimba
ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam
hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan
keganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak
melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari
tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan
salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya, mengajar
kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu;
dan semisalnya. Kalau pun beliau keluar biasanya untuk memenuhi undangan
hajatan atau - dan ini sangat jarang sekali - mengisi pengajian umum. Memang
ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri
yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal
sejak muda. Semacam lelana brata kata mereka."
"Baru setelah beberapa minggu
tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian
untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir inilah kesempatan untuk
mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."
"Begitulah, pada suatu malam
purnama, saya melihat kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang
sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau
lainnya. Dengan hati-hati, saya pun membuntutinya dari belakang; tidak terlalu
dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa,
kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan kemana beliau
gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya
pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba kiai menoleh ke
belakang."
"Setelah melewati kuburan dan
kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget,
ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang
penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong, saya
mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang
wanita-yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua-dengan
dandanan yang menor, sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit
kesana-kemari. Tidak mungkin kiai mampir ke warung ini, pikir saya; ke warung
biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan
kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak
asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya
hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul,
mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung.
Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak
karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk santai di
pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan
senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang di sampingnya untuk bergeser,
'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!'. Lalu, kepada orang-orang yang ada di
warung, kiai memperkenalkan saya. Katanya: 'Ini kawan saya, dia baru datang
dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya.' Mereka yang duduknya
dekat, serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah;
sementara yang jauh, melambaikan tangan."
"Saya masih belum sepenuhnya
menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar kiai
menawari, 'Minum kopi ya?' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, yu!'
kata kiai kemudian kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat
saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggaan warung ini!'
Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."
"Kiai Tawakkal kemudian asyik
kembali dengan 'kawan-kawan'nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih
tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan
dihormati para kiai lain, bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang
beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata?
Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari
umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama
ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini.
O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap pandangan saya
terhadap beliau berubah. 'Mas, sudah larut malam," tiba-tiba suara Kiai
Tawakkal membuyarkan lamunan saya, 'kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu
jawaban saya, kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada
semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya.
Ternyata setelah melewati kebun sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri
jalan-jalan yang tadi kami lalui, 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas
saja!' katanya."
"Kami melewati pematang, lalu
menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya
menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas
permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang,
beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai,
'Ayo!' teriaknya.
Untung saya bisa berenang; saya pun
kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata
Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu 'Kita
istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian, 'kita
masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.'
Setelah saya ikut duduk di sampingnya,
tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau
sudah menemukan apa yang kau cari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari
tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah
kau yang mahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?'
Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan
pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata
apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. ‘Anak muda, kau tidak perlu
mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda 'Ahli neraka' di kening saya.
Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku
memang pantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan
hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana
neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia
mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke
sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai,
apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau
berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah
mata itu, pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang
baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak
menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal
dari-Nya. Bukankah begitu?'
Aku hanya bisa menunduk. Sementara
Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya, 'Kau harus
lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang
berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan.
Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah
sulit kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap-sikap lain yang
cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai
kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap
saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.' Malam
itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa
yang selama ini sudah saya ketahui. 'Ayo, kita pulang!' tiba-tiba kiai bangkit,
'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya
tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar
biasa ini."
"Ketika saya ikut bangkit, saya
celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus
berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau
bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa
ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai
Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang
berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang
menghampiri saya, 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan,
orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang
milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliau
dimana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya, 'Mbah Jogo datang
dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan
kemana beliau pergi.' Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo
yang telah berhasil merubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."
Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi
kami yang dari tadi mendengarkan masih diam tercenung, sampai Gus Jakfar
kembali menawarkan suguhannya.
***
Rembang, Mei 2002
Publikasi oleh : http://1hati17an.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar